Kamis, 24 September 2015

HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN SAAT NAIK GUNUNG

Ketinggian tidak bisa dianggap main-main oleh pendaki. Banyak yang cedera, tewas, atau lenyap begitu saja.
Tak jarang pula pendaki yang mengalami penampakan dan kesurupan. Jangankan gunung yang terpencil, kota pun ada yang punya hobi menyambut
pengunjungnya dengan masalah, seperti Cuzco, Peru (3.000 mdpl), La Paz, Bolivia (3,444 mdpl), dan Lhasa, Tibet (3,749 mdpl).
Olah-raga panjat gunung tidak cukup bermodal ketangguhan fisik melakukan aktivitas (exertion).
Lebih dari itu, daya adaptasi terhadap ketinggian (altitude adaptability) juga dituntut. Tuntutan kedua itulah sebenarnya yang berakibat berat bila tak dipenuhi.
Pendaki bisa mengidap mountain sickness (mabuk gunung) yang sebenarnya menjadi pangkal musabab dari hal-hal 'gaib' itu.
Mabuk Gunung
Misalnya Anda berada di Kandang Badak (camp site Gede-Pangrango jalur Cibodas) atau Pasar Bubrah (camp site lereng Utara Gn. Merapi) yang elevasinya sekitar 2.500mdpl,
Anda sudah bisa melihat gejala pembuntingan beberapa barang yang Anda bawa. Bungkus snack menjadi gendut menggelembung kayak balon.
Botol minuman yang dari bawah dalam keadaan tertutup rapat, bila dibuka pada ketinggian itu tutupnya meletup. Kok bisa?
Hal itu terjadi karena perbedaan tekanan udara. Di pantai (0 mdpl), tekanan udara adalah 760 mmHG dengan konsentrasi oksigen 21%,
sedangkan pada ketinggian 2.500 mdpl, tekanan udara hanya 570 mmHG. Dengan demikian, meskipun konsentrasi oksigen sama,
kerapatan molekulnya berkurang 25%. Faktor inilah yang telah membuntingkan barang barang di atas.
Pada kondisi tersebut, apa yang terjadi pada tubuh kita? Hati-hati, ternyata, diam-diam pembuluh darah kita pun ikut bunting.
Dan penggembungan pembuluh darah itu menyebabkan terjadinya kebocoran cairan.
Inilah biang kerok mabuk gunung. Kemungkinan Terjangkit (Susceptibility)
Kemungkinan terjangkit mabuk gunung antara satu orang dengan yang lain tidak sama.
Beberapa pendaki sangat rentan, sementara yang lain berdaya tahan mirip badak.
Sayangnya, sampai saat ini, belum ada metode klinis yang bisa mengidentifikasi dan memilah manusia yang rentan dan yang tahan terhadap ketinggian.
Mabuk gunung tidak berhubungan dengan jenis kelamin, umur, dan kondisi fisik. (Rick Curtis, Outdoor Action Guide to High Altitude: Acclimatization and Illnesses).
Jadi, jangan pongah dulu kalau badan Anda gempal atau kaki Anda kayak tales Bogor. Anda belum tentu mempunyai altitude adaptabilit yang sip.
Oleh karenanya, semua pendaki wajib mengenali diri masing-masing dalam hal ini. Tidak ada rumus lain!
Jenis Mabuk Gunung
Ada tiga jenis mabuk gunung, yaitu AMS, HAPE, dan HACE.
AMS (Acute Mountain Sickness) adalah bentuk awal dari mabuk gunung.
Pendaki yang rentan sudah mulai mengalami gejala ringan AMS pada ketinggian 1,200mdpl.
Itulah sebabnya, ketika berada di pos pendakian (belum mendaki), beberapa orang sudah kelihatan tidak sehat.
AMS bisa diidentifikasi dari gejala-gejala: * Pusing atau pening * Mual sampai muntah-muntah * Napas tersengal-sengal pada saat melakukan aktivitas fisik
* Kelelahan (fatigue) * Hilang napsu makan * Sulit tidur * Menyendiri, malas bergaul dan berkomunikasi (social withdrawal)
Apabila mendapatkan perhatian dan perlakuan sebagaimana mestinya, AMS umumnya tidak berakibat fatal.
Sebaliknya, bila kondisi ini tidak dipahami dan diabaikan, masalah lebih serius mengancam.
Sayangnya, pemanjat gunung sering cuek-bebek terhadap gejala-gejala itu. Kebanyakan menganggap gejala- gejala AMS semata-mata hanya karena terlalu capai, stamina loyo,
kurang tidur, atau bahkan masuk angin. Dari pendapat ini, umumnya penderita AMS hanya merasa perlu beristirahat sebentar, kemudian naik lagi.
Meskipun beristirahat ada benarnya, perlakuan semacam itu keliru.
Mabuk gunung bukanlah persoalan capai, bukan pula persoalan kondisi fisik (lihat Susceptibility).
HACE (High Altitude Cerebral Edema) merupakan perkembangan lanjut dari AMS. Pada tahap ini, banjir cairan sudah tak terkendali seperti lumpur Lapindo. Luapannya sampai ke otak sehingga bengkak.
HACE memang sangat jarang terjadi pada ketinggian di bawah 2,700 mdpl.
Kasus HACE sering mengancam pada skala elevasi Very High (3.600-5.500 mdpl) dan lebih sering pada Extremely High (>5.500 mdpl).
Tetapi pendaki yang sudah mengalami AMS, bila terus menambah ketinggian pada waktu yang cepat, di ketinggian berapa pun, tetap mudah terkena HACE.
Rasa letih yang jauh lebih parah, biasanya dialami penderita HACE.
Selain gejala-gejala AMS, gejala lain yang mungkin kelihatan pada penderita HACE adalah:
* Kehilangan koordinasi gerakan, sempoyongan bila berjalan* Kebingungan, irasional * Mengalami halusinasi * Meracau
* Lunglai, dan pada keadaan yang paling parah mengalami koma.
Lebih dari lima puluh persen penderita HACE yang sampai mengalami koma, akhirnya tewas.
Sementara yang berhasil bertahan, kebanyakan mengalami cedera otak permanen yang menyebabkan ketidaknormalan kondisi mental atau kekacauan koordinasi motorik.
Kalau mendapatkan penanganan yang pas, jangan takut, asal belum sampai mengalami koma, penderita bisa pulih total.
HAPE (High Altitude Pulmonary Edema) adalah bentuk lain dari perkembangan AMS.
Pada kasus ini, banjir kiriman mencapai paru-paru sehingga penderitanya mengalami kesulitan pernapasan.
Akibatnya, efektifitas penyerapan oksigen menurun drastis. HAPE bisa terjadi sendiri, maupun serentak dengan HACE.
Dalam hal pemburukan kondisi ke arah fatalitas, jangan main-main, HAPE lebih cepat!
Gejala penderita HAPE adalah: * Napas tetap tersengal-sengal meskipun beristirahat * Batuk berat disertai keluarnya busa putih
* Dada terasa sangat berat dan sesak * Lunglai, lemas Gejala-gejala seperti irasionalitas, kebingungan, dan gejala-gejala lain yang tampak pada HACE bisa juga muncul sebagai akibat dari kurangnya pasokan oksigen ke otak.
Penampakan? Ya jelas ada penampakan, wong otak becek kebanjiran!
Kesurupan? Ya jelas kesurupan, meracau, ngomyang, wong otak bengkak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar