"Tujuan mendaki adalah untuk pulang kembali, bukan puncak."
Nasehat itu masih berdengung jelas di kepala. Nasehat dari seorang senior di organisasi kepecintaalaman yang aku ikuti hingga kini.
Bagi sebagian orang yang tak paham makna kalimat tadi, mungkin mereka akan terus memaksakan diri untuk sampai di puncak tak peduli apapun kondisi mereka. Karena bagi mereka pantang untuk pulang sebelum menjamah puncak. Tapi, bagi mereka yang paham hakikat mendaki tentu tahu, bahwa pulang dengan selamat adalah satu-satunya tujuan yang benar.
Saat itu aku dalam pendakian Gunung Sumbing. Rombongan pendakian kami terbagi dalam beberapa tim, tim logistik, perkap, P3K, dan beberapa lainnya. Salah satu tim P3K kami mengalami cedera saat mendaki.
Demi faktor keselamatan akhirnya ada beberapa anggota tim yang tidak melanjutkan perjalanan, dan memilih untuk segera turun. Dalam kondisi seperti itu ego mencapai puncak harus dibuang jauh.
Ini pelajaran penting yang aku dapat saat pendakian keduaku.
2. Mengenal diri atau menjunjung ego yang tinggI?.
Berpose tegak, mengibarkan sang saka merah Putih di puncak Mahameru –atau juga puncak gunung lainnya-, mengenakan sepatu tracking, berjaket tebal, dan tidak lupa seperangkat pelengkap seperti bandana, sarung tangan, dan kaca mata. Pose foto ini seakan memikat banyak mata, dan tiba-tiba menjadi pose foto yang begitu eye catching ketika diunggah ke media sosial.
Sebagian orang merasa bangga karena sudah mencapai banyak puncak di negeri ini. Tapi, tidak banyak orang yang ingat, bahwa mendaki bukanlah untuk menyombongkan apa yang sudah diraih.
Mampu mengenali jati diri dan memahami sesuatu dari diri kita, itulah yang seharusnya dipelajari setelah mendaki.
Tak ada yang salah dengan foto yang kita tunjukkan pada khalayak, tapi justru dalam diri kita sendirilah sebenarnya kebenaran itu bersemayam. Apakah kita hanya sekedar ingin menjunjung ego kita yang tinggi agar dipandang, atau lebih kepada pemahaman jati diri kita.
3. Menjadi Pecinta atau Perusak?
Sempat suatu hari ketika teman baru pulang mendaki di Semeru, di salah satu fotonya nampak tumpukan sampah menggunung di sekitaran Ranu Kumbolo. Hal serupa pun aku temui ketika mendatangi beberapa gunung seperti Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan lainnya. Selalu ada sampah di sana.
Yang perlu direnungkan lagi, akan jadi apa kita bagi alam? Jadi pecinta atau perusak?
Jika tujuan kita mendaki hanya agar terlihat keren, yang terjadi adalah banyaknya sampah, rusaknya vegetasi dan sarana pendakian di gunung.
Sudah tidak terelakkan bahwa saat ini banyak sekali gunung yang ditutup untuk pendakian. Bukan lain hal ini karena proses pembersihan dan pemulihan vegetasi akibat kerusakan yang disebabkan oleh pendaki.
Cukuplah gambar yang menjadi kenangan kita sewaktu mendaki, bukan corat-coret nama kita di pohon, bukan dengan edelweiss yang kita petik, bukan juga dengan sampah yang kita tinggalkan di sana.
Jika kita tak bisa menjadi pecinta yang baik, cukuplah menjadi penikmat yang pandai, bukan perusak yang handal!
4. Mendekatkan atau menjauhkan?
Menurutku, seorang pendaki yang hebat adalah ia yang menyempatkan waktu untuk merenung sejenak tentang hubungan dengan Tuhan-nya. Saat menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan di puncak sana, Tuhan seolah ingin menunjukkan, bahwa betapa besar karunia hidup yang Ia anugerahkan pada kita.
Mungkin perlu kita renungkan kembali setelah mendaki, apa kita justru semakin jauh atau dekat dengan Tuhan kita? Bersyukurlah jika ternyata dengan mendaki kita semakin dekat dengan Tuhan. Itu berarti kita paham betul apa tujuan kita mendaki, yaitu untuk mendekatkan diri pada Ilahi.
Aku merasa damai ketika setiap kali mendaki ada saja kawan yang masih ingat untuk beribadah dan saling mengajak satu sama lainnya. Aku bersyukur karena berada dalam lingkungan yang baik.
Gunung bukanlah objek yang harus dan bisa ditaklukkan. Mendaki sejatinya adalah untuk menaklukkan diri sendiri.
Menaklukkan ego kita yang tinggi, belajar memahami makna hidup dari proses perjalanan menuju puncak, belajar mengerti bagaimana mencintai alam ciptaan-Nya, dan yang terpenting belajar untuk memahami makna “pulang”.
Source; phinemo.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar