Dunia alam bebas kembali berduka, siapa yang tidak sedih ketika kembali ada korban yang jatuh di alam bebas. Satu kabar duka tersebut berasal dari Puncak Gunung Merapi, di mana seorang pendaki jatuh ke dalam kawah. Konon si pendaki yang ingin berfoto di puncak, mendadak terpeleset ketika turun dan terjun bebas ke arah kawah.
Kondisi ini memilukan dan sebenarnya bisa saja tidak terjadi.
Cerita lalu simpang siur, ada yang bilang karena ingin berfoto selfie di atas puncak, ada yang bilang juga karena ragu-ragu untuk turun. Namun apa lacur, nasi sudah menjadi bubur, ada pendaki yang sudah gugur. Dan ada duka yang hadir di tengah-tengah kita.
Saya turut berduka, bagaimanapun mencapai puncak butuh keberanian yang tidak semua orang mampu lakukan. Kejadian ini, duka ini bisa menjadi pengingat agar tidak terjadi kejadian yang serupa.
Ada sesuatu yang salah, yang menggejala sekarang di alam bebas. Yang salah adalah egoisme manusia yang makin membesar. Mari kita berkaca, agar ke depan tidak ada lagi kabar duka.
Sesungguhnya apa yang ingin dicapai saat mendaki gunung? Puncak? Sampai puncak lantas berfoto untuk menunjukkan bahwa mencapai puncak adalah sebuah pencapaian? Saya tidak tahu, mungkin demi tren?
Tidak ada yang salah berfoto di puncak gunung, yang salah adalah pola pikir bahwa puncak itu harus dicapai oleh tiap pendaki.
Mencapai puncak, menggapai kejayaan justru menjadikan perjalanan menjadi sebuah ajang penaklukkan. Alih-alih menikmati perjalanan, lambat laun orang-orang akan beralih untuk mencapai tempat tertentu, targetnya adalah menaklukkan tujuan. Lama-lama gunung hanya menjadi simbol penaklukkan, simbol keperkasaan manusia, simbol sang penakluk.
Egoisme dalam bentuk narsisme semakin menjemukan. Orang-orang semakin mudah naik ke gunung tapi orang-orang juga semakin melupakan attitude. Beruntunglah pendaki gunung generasi lama yang mendapatkan gemblengan a la Mapala. Tahu ilmu naik gunung, tahu sopan santun, tahu bagaimana menghadapi alam.
Gunung sekarang semakin banyak dipenuhi orang-orang dengan egoisme tinggi, semua harus mencapai puncak, pokoknya harus puncak. Naik gunung adalah mencapai puncak. Esensinya pada puncak, bukan perjalanannya.
Ada yang dengan bangga berfoto dengan Puncak Semeru padahal pendakian dilarang sampai puncak, hanya sampai Kalimati saja. Ada yang ketika diperingatkan justru mencari pembenaran, sudah tahu salah tapi ngotot cari pembenaran.
Egoisme inilah yang menyusahkan banyak orang. Merepotkan banyak orang jika terjadi sesuatu. Berapa banyak kecelakaan di alam bebas karena kesombongan, keegoisan, ketidaktahuan ?
Contoh. Apa negara akan diam jika ada korban yang melanggar larangan ke Puncak Semeru? Tidak, Tim SAR pasti akan turun tangan. Para pelanggar dengan bangga menentang aturan pemerintah, tapi ketika terjadi sesuatu mengemis pada pemerintah dan meminta pemerintah turun tangan menyelamatkan mereka.
Di mana muka mereka?
Tahukah semua bahwa batas maksimal pendakian di Kalimati sudah ditetapkan karena status Semeru yang terus bergolak? Jika pemerintah melarang demi keamanan bersama, kenapa musti dilanggar?
Demi sebuah puncak dan eksistensi semu, keselamatan diabaikan. Merasa semua bisa naik gunung, merasa kegiatan alam bebas itu mudah. Merasa bahwa seharusnya pendakian itu tidak ada larangan?
Salah, pendaki yang baik bukanlah yang sampai ke puncak, pendaki yang baik adalah pendaki yang turut aturan, pendaki yang menghormati alam bebas, bukan pendaki yang menghalalkan segala sesuatu demi sebuah puncak.
Dengan mudahnya kita melihat para pendaki mengabaikan aturan, tidak mengenakan pakaian untuk alam bebas. Merasa memakai jeans adalah trendy, merasa naik gunung dengan sneakers adalah catchy.
Orang-orang tua jaman dahulu selalu berpesan, ucapkan salam jika pergi ke alam bebas. Itu sebenarnya adalah wujud kearifan lokal, wujud agar orang-orang hendaknya menghargai alam. Alam bebas seharusnya alam yang dihormati bukan menjadi tempat penaklukan dan simbol egoisme.
Foto-foto berterbaran, foto-foto yang menggelorakan petualangan dan keindahan. Foto adalah racun semu yang jika tidak ditemukan penawar hanya membawa kehancuran.
Ada yang merasa superior, mengolok-olok pendaki yang bersama pemandu atau porter. Padahal Edmund Hillary tak akan mampu sampai puncak Everest tanpa porter, tanpa pemandu.
Banyak yang mengeluh karena sistem kuota pendakian, merasa dipersulit naik gunung. Padahal semakin banyak pendaki, semakin banyak jejak yang ditinggalkan, semakin rusak juga alam. Berapa persen mereka yang sadar dan kembali turun membawa sampah mereka? Berapa persen yang dengan sadar turut menjaga lingkungan?
Tongsis menjadi simbol kemenangan manusia terhadap alam dan foto selfie adalah monumen keberhasilan mereka. Orang-orang semakin tidak punya malu melanggar aturan, orang-orang akan semakin mengabaikan larangan, semakin rakus akan pencapaian, semakin berorientasi pada puncak, semakin tidak menghormati aturan dan mengglorifikasi keberhasilan dirinya sendiri.
Obsesi seperti semakin menjemukan. Alam menjadi objek penaklukkan, bukan lagi tempat untuk menempa diri. Semua orang lantas mendaki dan semua orang bisa meng-klaim keberhasilannya masing-masing.
Tapi perlahan , lambat laun orang-orang telah kehilangan rasa hormat terhadap alam. Semua sudah salah kaprah. Naik gunung bukan demi menikmati alam, tapi demi sebuah monumen eksistensi bernama penaklukkan.
Melihat dunia alam bebas sekarang, mungkin Norman Edwin hanya bisa geram dari dalam kubur.
Source; efenerr.com/2015/05/19/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar