Tentu tak ada yang salah dengan menjadi orang rumahan. Rumah memang memberi rasa aman dan nyaman. Tiap hari selalu dikelilingi wajah-wajah orang yang akrab dan hangat.
Saya tahu rasanya. Dulu, saya tak pernah membayangkan dapat menyantap makan malam tanpa wajah-wajah keluarga tercinta didepan saya, tanpa canda tawa adik-adik saya, serta tanpa suara pembaca berita di tv yang selalu kami setel saat makan malam.
Selama hidup saya mengenal orang-orang yang selalu berpindah tempat dalam rentang waktu tertentu. Ada seorang kawan asal Kendari dimana tiap jenjang pendidikan dia berpindah kota hanya demi mendapat pengalaman baru.
Setidaknya dia berkata sudah 4 tahun tak pernah pulang ke rumah. Bukan karena masalah keluarga, hubungannya baik-baik saja dengan keluarganya, hanya saja dia takut jika terlalu lama menetap di suatu tempat, dia tak akan pernah berani bepergian lagi.
Banyak hal yang secara mendasar membedakan seorang petualang, dan mereka yang “orang rumahan”.
1. Petualang selalu punya banyak jawaban saat ditanya “Dimana Kamu?
Seorang kawan lama – yang sangat susah diajak reuni, selalu memberi jawaban berbeda saat saya menanyakan kabar dan lokasinya sekarang. Bulan lalu dia sedang berjemur di Gili Trawangan Lombok, bulan sebelumnya dia berkata sedang mandi di sauna alam di Jepang, sebelumnya lagi dia berkata sedang di menyelam di Pulau Weh.
Tentu berbeda saat saya menghubungi seorang kawan pecinta keluarga dan lingkungannya, dimana beberapa kali saya menghubunginya di malam hari, dia menjawab,’sedang menonton tv bersama keluarga di rumah, sedang mendengarkan musik di kamar, sedang menonton film rentalan bersama teman-teman di ruang tamu’.
Jawabannya terdengar variatif, hanya saja semua itu dia lakukan di satu tempat, rumah.
2. Petualang tahu cara menawar
Saat di Dieng saya menemukan pedangang buah carica- bukan manisan carica. Harga 1 kg dengan isi 6 buah dihargai Rp 20.000,-. Seorang kawan perjalanan saya, dia mengambil beberapa carica dan mengendus-endusnya. Tiap buah dia endus. Kemudian, dia memilih 6 buah dengan cepat.
‘Ini Pak, beli 1 kg Rp 12.000, ya,’ dia menawar dengan lugas.
‘Wah belum dapat Mbak,’ si bapak berusaha mempertahankan harga.
‘Ya udah Pak, nggak jadi, saya beli di tempat lain saja,’ kawan saya menarik lengan saya.
‘Eh Mbak, ya udah nggak apa-apa Rp 12.000,-‘ si bapak segera membungkusnya.
Kawan saya tersenyum penuh kemenangan.
Saya pun sering mencoba trik tersebut namun tak pernah berhasil, si penjual nampaknya tenang-tenang saja membiarkan saya pergi.
‘Tak ada trik, saya coba mengendusnya agar terlihat saya tahu bagaimana memilih buah carica bagus, saya sendiri tak tahu apa perbedaan bau mereka. Selain itu, saya pernah mendapatkan carica yang bagus dengan harga Rp10.000,-/kg saja. Kuncinya, buat dirimu seolah berpengalaman, makanya jangan di rumah terus,’ jelasnya sambil tertawa.
Saya tertohok, dan hanya tersenyum kecut.
3. Petualang tak pernah tahu jalan cerita sinetron Ganteng-Ganteng Serigala.
Tentu saja, pada jam-jam dimana para bos industri tv menyebutnya sebagai jam prime time, bagi petualang itu adalah waktu untuk minum kopi bersama kawan-kawan komunitasnya di angkringan pinggir jalan. Berbagi cerita perjalanan jauh lebih menarik.
Pancing orang rumahan dengan 1 pertanyaan singkat tentang sinetron itu, dia akan menjelaskan secara detail jalan cerita, tokoh, alur hingga prediksi akhir ceritanya.
4. Petualang tak tahu trending topic terbaru di Twitter.
Saat semua orang, bahkan wartawan memantau hal apa yang sedang menjadi isu pembicaraan terhangat di masyarakat-mengenai KPK Polri, mengenai harga beras, mengenai isu politik lain, para petualang lebih tertarik menuliskan cerita perjalanan mereka, menyortir foto-foto jalan-jalan mereka, serta membuka website-website pariwisata guna mencari rekomendasi tempat yang akan dijelajahi berikutnya. Tak lupa, mencari tanggal terbaik memesan tiket pesawat.
Mereka bukan tak peduli dengan segala isu sosial masyarakat. Mereka hanya tak ingin menyia-nyiakan hidup singkat mereka dengan hal-hal tak berguna.
Berbeda dengan para “orang rumahan”, dimana selalu berdebat tentang apapun-utamanya politik di linimasa twitter atau kolom komentar status seseorang.
5. Petualang tahu makna “rumah” sesungguhnya.
Sejauh apapun kamu pergi, kami masih punya tempat untuk pulang, rumah ini
Begitulah pesan orang tua saya. Saya sangat beruntung memiliki orang tua yang tak pernah keberatan dan melarang saya pergi kemanapun.
Seorang yang terus berada di rumah tak pernah tahu nikmatnya “pulang”. Tak tahu makna sesungguhnya sebuah “rumah”.
Sebuah kenikmatan saat merebahkan punggung diatas kasur hangat dikamar setelah sebuah perjalanan menakjubkan di Wakatobi, ataupun pendakian menembus badai di Semeru.
Segelas teh panas buatan ibu yang selalu menyambut dan menanti cerita kita. Hanya para petualanglah yang paham kenikmatan tersebut.
Petualang bukan jenis manusia terbaik, begitupun jenis “orang rumahan”. Hal paling penting adalah mengetahui posisi kita dalam hidup, pahami, lalu jalani peran tersebut sepenuh hati.
Seorang “petualang” yang mencoba menjadi “orang rumahan” karena tuntutan suatu hal – pekerjaan, keluarga, teman, tak akan pernah benar-benar bahagia di dalam hidupnya.
Source; phinemo.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar