Senin, 12 Oktober 2015

8 PELAJARAN MENDAKI GUNUNG DARI FILM EVEREST


Gunung Everest memiliki predikat gunung tertinggi di dunia dan menjadi incaran para pendaki untuk menjejakkan kaki. Jon Krakauer, penulis buku sukses "Into Thin Air", buku yang mengisahkan kisah nyata tragedi di Everest tahun 1996_yang juga menjadi inspirasi film Everest (September 2015), mengaku sangat menyesal karena pernah memulai mendaki gunung.

"Pendakian Gunung Everest adalah kesalahan terbesar yang pernah terjadi dalam hidup saya. Saya berharap tidak akan pernah pergi (lagi ke Gunung Everest)," kata Krakauer seperti dilansir NGI dan dikutip dari Huffingpost.

Pengalaman buruk Jon Krakauer saat menjadi bagian dari sejarah bencana pendakian terburuk Everest tahun 1996 itu menjadikannya seperti itu. Ia menderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) selama bertahun-tahun dan masih mengalami hingga kini. Walaupun mengalami kondisi demikian, Krakauer mengaku senang dapat menulis buku tentang penderitaan yang ia alami.

Dari legenda yang telah diceritakan dan diceritakan kembali oleh banyak orang dan dari perspektif yang berbeda. Banyak kesimpulan negatif yang ditarik dari cerita-cerita pendakian Everest musim itu termasuk oleh Jon Krakauer, seorang jurnalis dalam penugasan oleh Outside yang juga menjadi salah seorang yang selamat dari tragedi Everest 1996.

Krakauer melihat, kompetisi perusahaan-perusahaan komersial, populasi pendaki yang terlalu memenuhi Everest, menjadi akar permasalahan yang berujung korban jiwa di Puncak Tertinggi Dunia. Namun kejadian ini menjadi pengingat yang dramatis bagi siapa saja yang ingin mengais atau memberi rejeki di Everest. Dari kejadian itu, banyak perbaikan yang telah dilakukan, komunikasi menjadi lebih dapat diandalkan. dan kerja sama di antara pendaki dan perusahaan pendakian membaik, dan secara umum sarana dan infrastruktur sejak perkemahan awal hingga puncak Everest juga memuaskan.

Lantas pelajaran apa yang bisa diambil bagi pendaki yang (masih) ingin melakukan perjalanan ke puncak tertinggi dunia? Film everest menyiratkan pelajaran yang jika dipetik hikmanya bisa membuat kita pulang dengan selamat.

1. Rajin Berolahraga.

Dalam film Everest, tokoh Beck Weathers digambarkan paling bersemangat. Jarang sekali memang orang yang mampu naik Everest masih berusia muda, tapi Beck yang usianya 49 tahun waktu itu ikut dalam pendakian 10 Mei 1996 dan dia salah satu yang bersemangat.

Jauh sebelum berangkat ke Everest, setiap pendaki memang harus terbiasa melatih fisik dengan berolahraga. Beck termasuk yang rajin soal itu, tidak hanya sebelum, selama mendaki Everest dari Maret sampai dengan Mei 1996 kadang ia melakukan latihannya di lokasi perkemahan.

Akibat rajin berolahraga, setiap kali cek kesehatan fisik, kondisi Beck adalah salah satu pendaki yang prima.

Sayang, fit saja tidak cukup, Beck yang belum lama melakukan operasi mata mengalami gangguan di puncak Selatan. Dia pun jadi tidak sampai tuntas menjejaki puncak. Gangguan matanya membuat beck harus kembali turun, namun musibah badai salju itu menerjangnya sehingga ia ikut terjerembab dan sempat tak sadarkan diri.

Tertimbun es salju super-dingin membuat kulit wajahnya terbakar. Namun kondisi badan Beck yang fit membuatnya sanggup untuk berjalan setidaknya sampai ke Kamp ke-4, alhasil Beck salah satu yang selamat .

2. Adaptasi dengan Alam.

Coba perhatikan Jake Gyllenhal saat ia berperan jadi Scott Fischer. Di Kamp pertama, Scott bertelajang dada, padahal dia sedang di daerah pegungan Himalaya.

“Aku sedang beradaptasi dengan alam,” katanya mengingatkan pendaki lain agar menyesuaikan tubuh dengan kondisi alam.

Mungkin tidak harus telanjang dada seperti Scott yang sudah terbiasa dengan pegunungan, tapi adaptasi lain adalah membiasakan tubuh rileks di lokasi tempat kita hidup sekarang. Bagaimana caranya, tubuh kalian akan berusaha berfungsi. Jadi cobalah membuat nyaman dan mengontrol diri sendiri.

3. Saling Berkenalan.

Sudah lumrah, di kalangan pendaki, mereka saling mengenal satu sama lain. Selain untuk mengontrol siapa saja yang masih bertahan dan yang bisa naik sampai puncak. Mengenal seseorang lain juga membantu pendaki saling menjaga emosi dan komunikasi.

Di film Everest, memang tidak direncanakan sebelumnya kalau Tim Rob Hall dan Scott Fischer harus dalam pendakian yang sama. Kenal dengan rekan satu grup sudah kewajiban, namun dengan rekan grup lainnya kenapa tidak? Kita tidak tahu siapa orang yang akan menolong kita jika benar-benar dalam kesusahan.

4. Oksigen itu Penting.

Pendaki berpengalaman kadang merasa sanggup melakukan hal yang sama dengan pendakian mereka sebelumnya. Terlebih saat turun dari puncak membuat pendaki seperti ini ogah membawa tabung oksigen tambahan karena dianggap beban atau memang tidak benar-benar membutuhkannya.

Namun siapa yang bisa mengira jika pendaki lain lebih boros dalam menggunakan oksigennya sehingga tabung mereka habis lebih awal. Kita yang masih fit mungkin bisa langsung ngegelosor ke bawah, tapi yang lain belum tentu.

Yang paling parah, sudah tahu hidup di ketinggian bakal membutuhkan oksigen, namun kadang ada saja yang mengesampingkannya. Orang-orang seperti ini tentu belum bisa dikatakan siap mendaki Everest.

Bawalah oksigen yang terisi penuh. Pertama untuk kebutuhan sendiri, kedua untuk kondisi tak terduga, baik untuk menolong diri sendiri lagi atau untuk orang lain. Mungkin saja oksigen yang sudah disiapkan tidak terpakai, tapi persiapan adalah setengah dari kemenangan, bukan? Dan niat baik sudah mencatatkan pahalanya sendiri.

5. Menjaga Isi Kepala.

Kadang hidup di ketinggian membawa seseorang dalam lamunan. Hal mistis pun bisa saja terjadi, dimanadengan tiba-tiba konsentrasi kita buyar. Kondisi ini biasa menyerang orang-orang yang dalam kelelahan, atau ketakutan sangat, termasuk juga yang kekurangan oksigen.

Di film Everest, kita diperlihatkan tokoh Doug yang hilang konsentrasi sehingga ia tidak sanggup lagi mengikat tali temalinya saat menuruni puncak. Harold pun begitu, dia sudah membawa oksigen, namun ketakutan akan badai salju yang menerpanya membuat isi kepalanya kosong. Dia sempat pingsan, lalu setelah tersadar, sayangnya dia linglung dan merasa kalau udara di gunung menjadi sangat panas, karena itu dia pun melepas jaketnya dengan tergesa-gesa sampai-sampai ia limbung dan terjatuh dari puncak kecil di Everest Selatan.

Naik gunung bukan cuma melatih kesabaran, tetapi juga menguji kepala kita tetap bekerja atau tidak. So, keep thinking, guys!

6. Sarung Tangan.

Selain menjaga pikiran dan asupan oksigen, Everest mempunyai suhu udara di bawah nol derajat celcisus. Tubuh yang belum terbiasa akan rentan terserang hipotemia atau bahkan lebih bahaya dari itu.

"Manusia memang tidak dibangun untuk berfungsi pada ketinggian jelajah melebihi dari pesawat Boeing 747," kata Rob mengingatkan bahayanya Everest jika sudah melewati ketinggian 8000 mdpl.

Namun kita bisa menjaga seluruh bagian tubuh kita sehingga tetap dialiri darah dan menjadikan mereka tetap hangat. Caranya selain menjaga gerak masing-masing tubuh, bagian tubuh yang memilikitulang tipis seperti jari tangan, jari kaki, telinga dan hidung harus tetap difungsikan atau dilindungi sebagai mana mestinya.

Jika jari kaki tertutup sepatu yang nyaman, telinga di tutup kupluk, hidung dengan masker, maka menjaga jari tangan adalah dengan sarung tangan. Ini penting. Pasalnya selama mendaki, tangan ini akan menopang banyak hal dan melakukan kegiatan melimpah. Jadi saat ia diam, dan suhu diingin merambat, dia akan membeku lalu terbakar dan bisa saja putus.

Seperti kejadian Beck yang saat terjerembab di salju, mukanya dalam keadaan terbuka tanpa masker, dan sarung tangannya sedang tidak terpakai. Dia kuat berjalan ke Kamp saat sudah kembali sadar, tapi tangannya sudah beku, hidungnya sudah terbakar. Beck kini sudah tidak punya hidung dan jari tangan lagi.
Mau?

7. Komunikasi dengan Keluarga.

Tujuan mendaki sebenarnya bukan cuma ingin sampai ke puncaknya, melainkan secara utuh mereka menginginkan titik awal, yaitu rumah.

Meski sebagian pendaki mengaku kalau mereka melakukan semua itu hanya untuk diri mereka sendiri. Di hati kecilnya, setiap pendaki menginginkan pulang. Sama seperti Astronot yang punya misi sampai ke bulan, namun yang terpenting dari mereka adalah memikirkan bagaimana caranya kembali ke bumi (rumah) dengan selamat.

Nah dalam film Everest, lagi-lagi tokoh Beck termasuk yang rajin menjaga komunikasi dengan keluarganya, terlebih istri dan anak-anaknya. Dengan begitu, ada alasan dan semangat buat kita untuk kembali ke mereka yang sayang sama kita. Berkat menjaga komunikais yang baik, Beck mendapat bantuan nyata sehingga ia ada dalam penjemputan helikopter yang dalam film ini masuk dalam scene yang menegangkan.

8. Selebrasi di Puncak.

Beberapa pendaki akhirnya sukses berada di puncak ketinggian dunia. Untuk merayakan keberhasilan ini tidak usah berlebihan. Cukup keluarkan kamera dan bendera _jika membawanya, lalu ikat baik-baik sebab angin di atas sangat kencang.

Tidak perlu berlama-lama, sebab selain tidak diperkenankan berlama-lama di sana karena antrean, waktu turun pun sudah menunggu. Telat sedikit, maka terpaan cuaca yang datang bisa saja menimbulkan risiko yang besar.

Jangan menghabiskan persediaan bekal dan tenaga kita hanya untuk puncak. Seperti tujuan di awal, selain puncak, pulang ke rumah adalah tujuan selanjutnya. Jadi sisakan tenaga dan bekal seperlunya untuk kita turun dan sampai ke titik awal.

Source; hai-online.com/Feature/Movie/8-Pelajaran-Naik-Gunung-Dari-Film-Everest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar