Selasa, 13 Oktober 2015

Nasehat Dari Pendaki Ritual 1 Suro, Gunung Lawu

Seperti tahun-tahun sebelumnya dalam menyambut tahun baru jawa, gunung lawu selalu ramai oleh para pendaki spiritual yang menjalankan 'lelaku' dalam penyambutan hari baru itu.


Dalam perjalanan kali ini saya bertemu dengan seorang tua yang mau naik ke Argodalem. Sepanjang perjalanan beliau bercerita kesana-kemari tentang hidup, tentang perjalanan mengubah diri, membentuk diri dan berbagai pembicaraan-pembicaraan yang menurutku tatarannya sudah berat.

Beliau bercerita tentang kehidupannya yang hanya seorang pemetik teh dan pencari kayu, dan memberi sepatah nasihat atau pandangan beliau tentang naik gunung.

“Wong munggah gunung iku kanggo awakku pribadi nggo ngingeti meneh jerone atiku. Tumindak apa wae kang wis lakoni nganti umur saiki lan apa wae kang kudu dipersiapke kanggo ngadhepi urip kang bakal teka"

Artinya, naik gunung itu sebagai salah satu sarana refleksi diri, melihat kembali perbuatan-perbuatan apa yang sudah dilakukan sampai sekarang. Sudah benarkah? Jika ada yang salah untuk diperbaiki, dan memikirkan hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan dalam menghadapi hidup yang akan datang.

"Urip ki uga kaya munggah gunung, saya munggah saya kesel mesthine. Nek ning tengah-tengah yo ana mudhune, ben kowe isa leren ambegan. Terus mlaku meneh. Mlakune yo ora kudu grusa-grusu alon-alon supaya ora entek tenagamu"

Artinya, dalam hiduppun sama, seperti naik gunung. Semakin keatas semakin capek tentunya. Tapi ditengah-tengah jalur pasti ada turunan supaya kita bisa beristirahat sejenak. Kemudian kembali berjalan naik lagi dan perjalananpun tidak boleh terburu-buru. Pelan-pelan supaya kita bisa memanajemen tenaga kita sampai puncak.

"Munggah gunung uga nggo pangucap syukurmu marang Gusti kang hamemangun bumi. Coba ngingeti kiwa lan tenganmu, kowe pribadi ora ana sacuil saka lemah gunung iki. Apa meneh karo Gusti kowe ora ana apa-apane"

Artinya, naik gunung juga sebagai sarana mengucap syukur pada Tuhan yang sudah bikin bumi ini. Yang sudah memberi kita segala sesuatunya. Coba lihatlah kiri dan kananmu, kamu tidak ada secuil dari gunung ini. Apalagi dihadapan Tuhan Sang Pencipta Semesta Alam, kamu tidak ada apa-apanya.

"Akeh sing kudu mbok pikir sak durunge munggah. Sangu apa wae kang kudu digawa, semana uga urip kudu dipikirke mateng-mateng sakdurunge munggah luwih dhuwur."

Artinya, banyak yang harus dipikirkan sebelum naik gunung, bekal apa yang harus dibawa, begitu juga dengan hidup harus dipersiapkan dengan matang sebelum berjalan ke tahap atau level berikutnya dari sebuah tahap kehidupan.

"Munggah gunung ngajari ikhlas, ngajari sabar. Kowe kena angin, mangan sak anane, turu sak kenane"

Artinya, naik gunung mengajari kita untuk ikhlas. Kita terkena angin gunung yang sangat dingin, makan seadanya dan tidur seadanya.

"Nek mung puncak kang pingin mbok gayuh, kowe drung nemu hakikate wong nepi munggah gunung."

Artinya, kalo hanya puncak gunung yang ingin kau gapai, berarti kamu belum menemukan apa hakikat dari naik gunung itu sendiri.

Dan banyak lagi percakapan tentang filsafat naik gunung, yang disampaikan oleh lelaki tua nan sederhana itu.

Intinya, naik gunung bukan sekedar jalan-jalan, rekreasi, mengejar ambisi puncak tapi selebihnya dari itu yang terpenting adalah proses. Proses pendakian itu tersendiri, instropeksi diri, bersyukur, menikmati sebuah arti kebersamaan diantara cangkir-cangkir teh yang mulai dingin. Diantara kabut tipis yang datang dan pergi.

Mari selangkah lagi melangkah, menuju titik hidup selanjutnya, bersiap untuk level lebih tinggi lagi. Tantangan-tantangan baru lagi, jalan-jalan mungkin akan lebih terjal tentunya, dan angin yang mungkin lebih kencang dari sebelumnya.

Kata ayah rekan seperjalanan saya, “Wong urip kui sing goleki sumur, dudu sumur kan goleki wonge”

Intinya jika ingin mencari pengalaman keluarlah, berjalanlah cari sumber-sumber air pada orang-orang yang mungkin bisa memberikannya kepadamu.

source; filsafat.kompasiana.com/ saya edit di beberapa bagian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar