Peringatan: Artikel ini lumayan panjang, bagi yang tidak suka membaca
silakan melupakannya. Jika sekiranya bermanfaat, silakan dibagikan..
Minggu pagi itu, saya leyeh-leyeh sambil menyaksikan acara traveling di stasiun TV lokal
“Keren kaaan? Masih gak penasaran?? Pokoknya lo harus kesini dan nyobain!!”
“Kasihan ya cuma tahu mall aja hidupnya. Pergi keluar jauh-jauh!”
“Indonesia itu indah, bro! Masih mau di rumah aja?”
“Jangan ngaku orang Indonesia, kalau belum pernah ke Raja Ampat!”
Ya ampun! Itulah beberapa dari sekian celetukan yang akhir-akhir ini terasa mengganggu telinga dan membuat saya gatal ingin berkomentar. Anda boleh menyebut saya sinis, nyinyir, atau apapunlah itu, tapi buat saya, celetukan semacam ini punya efek domino yang seringkali tidak disadari, menjerumuskan.
Traveling, bisa jadi kini ditasbihkan sebagai sebuah gaya hidup. Ia dianggap sebuah tren, aktivitas yang kini tengah digandrungi, yang berkorelasi positif dengan makin menjamurnya bisnis tour & travel, tayangan jalan-jalan di TV, atau akun instagram dan sejenisnya.
Tak ada yang salah dengan ini. Dalam piramida kebutuhan Maslow, pada hakikatnya ketika manusia telah memenuhi kebutuhan terdasarnya akan sandang pangan papan dan rasa aman, munculah kebutuhan lain yang sifatnya pemenuh kepuasan. Dan di zaman ketika hidup habis setengah hari terjebak macet di jalan Jakarta, siapa yang akan menolak kesempatan untuk berlari bebas dan berleha-leha di pantai, misalnya?
Tapi saya lebih suka memandang travel sebagai sesuatu yang jauh lebih hakiki dari sekedar rekreasi. Traveling buat saya adalah seni merasakan nikmatnya perjalanan. Itu tak hanya melulu menyoal indahnya destinasi. Melainkan perjalanan itu sendiri.
Saat mobil kami mogok di tengah hutan dalam perjalanan menuju Pulau Pasoso, sambil mendorong mobil, kami malah jadi bisa menyaksikan langsung semaraknya bintang yang subhanallah indahnya di langit Tanjung Manimbaya. Pun saat setiap orang yang kami tanya di Lampung memberi petunjuk jalan yang berbeda sehingga sukses membuat kami nyasar tak tentu arah, kami belajar menikmati serunya alur perjalanan yang tak menentu. Atau betapa saya selalu menikmati setiap menumpang tidur di rumah penduduk, serunya melantai tidur meringkuk dalam sarung, diiringi nina bobo gen-set yang dari kejauhan berdengung. Atau serunya terimpit dalam oto Kijang yang penumpangnya dijejalkan seperti ikan pindang, melewati jalan poros trans Sulawesi, kram dijepit kanan-kiri, dengan seorang anak tambun tidur dengan pulas di punggung hampir setengah hari.
Salah satu kearifan dari bepergian buat saya juga adalah, bertemu dengan orang-orang baik yang disebar Tuhan di muka bumi. Betapa banyaknya pintu yang dibukakan dan dipan yang direlakan untuk kami tidur menumpang selama di perjalanan. Bahkan di Kampung Bajo, kami selalu disilakan makan duluan. Ah, kerendahan hati macam begini dimanalah lagi kita temui di zaman begini?
Di Pulau Tembang pelosok Sulawesi Tengah kami bertemu pak Rusli, seorang guru honor yang diberi cobaan berupa glaukoma nyaris buta total oleh Yang di Atas, tapi tetap semangat mendidik anak di pulau yang bahkan tak tertera di peta. Saat tersasar menuju Rammang-rammang di Maros, kami bertemu anak muda yang rela memutar balik motornya, menunjukkan jalan berkilo-kilo meter pada kami sampai tujuan. Saat biasanya kita pesimis masih ada orang baik di dunia ini, pengalaman menyusuri nusantara justru akan mengajarkan hal sebaliknya: orang baik itu ada di mana-mana.
***
Maka, hikmah dari sebuah perjalanan buat saya justru bukanlah perasaan besar hati karena telah menginjak berbagai lokasi di dunia, tapi justru sensasi dari “merasa kecil di alam semesta”.
Tentu saja hal yang saya rasakan belum tentu dirasakan pula oleh para pelancong lainnya. Ada yang mencandu nikmatnya menaklukkan puncak-puncak tinggi di bumi, ada yang senang memotret keindahan dan berbagi, atau ada yang sekedar ingin mengosongkan kepala dari tetek-bengek perkantoran yang penuh basa-basi.
Maka jangan heran, jika tak sedikit pejalan yang sekadar ingin berfoto di destinasi yang tengah hits agar bisa diumbarnya di media sosial, atau cuma untuk mencontreng daftar panjang “been there” meskipun yang dilakukan sebenarnya hanya datang tanpa berinteraksi dengan penduduk sekitar lalu pergi begitu saja, atau demi komentar dan tatapan iri teman-temannya yang berkata, “Ihh jalan-jalan terus deh!”.
Itulah mengapa saya bersikeras bahwa traveling bersifat sangat personal. Kita boleh melancong ke destinasi yang sama, menempuh jarak yang sama, dengan durasi yang sama, menggendong bawaan yang sama, tapi percayalah kita akan membawa pulang cerita yang berbeda, pemahaman yang beragam, dan hikmah perjalanan yang beraneka pula.
Seorang besar pernah berkata, ada perbedaan antara “menjalani” dan “mengalami”. Yang satu sekedar datang, yang satu belajar pada alam. Yang satu sibuk mengambil foto selfie, yang satu memilih untuk meresapi. Yang satu cuma buat gengsi, yang satu demi kontemplasi.
Kenapa saya mengungkit perbedaan kedua tipe ini adalah, karena saya percaya, perbedaan landasan dan cara berpikir ini akan menunjukkan perilaku yang juga berbeda saat melancong. Masih ingat kontroversi Pulau Sempu yang masih saja dijejali pengunjung padahal termasuk area konservasi itu, atau Ranukumbolo yang kata seorang kawan tak ubahnya WC umum masif di penghujung minggu, atau yang masih hangat, terbakarnya Gunung Sumbing oleh sisa api pendaki yang belum padam? Untuk masalah sampah, tak usah ditanya lagi, ini sepertinya sudah jadi masalah laten orang Indonesia.
Menurut saya, tipe pelancong yang “mengalami”, yang memandang perjalanan sebagai sebuah pemahaman yang jauh lebih besar, akan cukup dewasa (dan kita tidak sedang membahas umur di sini) untuk tidak melakukan hal-hal bodoh semacam ini. Mereka tidak akan mengotori ibu pertiwi tempat mereka menahan napas karena tercekat oleh keindahannya, mereka tidak akan rela merusak barang setitik pun alam tempat mereka belajar merunduk pada Yang Kuasa, mereka akan menghormati pejalan lain yang datang berikutnya karena percaya lanskap indah itu bukan hanya hak untuk dinikmati oleh matanya saja, tapi juga orang-orang yang datang setelahnya dan bahkan, jikalau dirasa perlu, tak peduli seberapa inginnya pun, justru rela untuk tak mendatangi destinasi paling hits sekalipun karena menyadari bahwa kehadiran mereka justru hanya akan mengusik flora dan fauna di sana.
Sebaliknya, tingkah pelancong yang “menjalani”-lah yang seringkali membuat saya hanya bisa mengelus dada. Status seseorang di grup backpacker membuat saya langsung berkeinginan untuk merakit bom molotov, “Kita bebas dong buang sampah di gunung, bukannya untuk itu kita bayar mahal pas masuk Semeru?” Atau tingkah cewek-cewek pengguna tisu basah yang setelah dipakai langsung dijejalkan di balik semak-semak. Atau sepasang snorkeler yang pacaran di laut sambil menginak-injak koral yang butuh waktu ribuan tahun untuk tumbuh. Duh Gusti! Belum lagi tindakan vandalisme, yang membuat saya hampir menangis dibuatnya saat mendapati batu-batu granit elok raksasa tempat Ikal dan kawannya berlarian di Laskar Pelangi itu telah penuh coretan barbar!
***
Kembali ke bahasan awal tentang celetukan yang mengganggu tadi. Alasan pertama kenapa saya tak suka mendengarnya adalah karena hal ini terdengar urakan.
Alasan kedua adalah karena tanpa kita sadari, acara-acara televisi turut berperan penting dalam meningkatkan animo masyarakat untuk traveling (meskipun saya selalu gagal paham, apa pentingnya melihat tiga model cantik dipaksa caving sambil berteriak-teriak centil). Traveling tak terhindarkan lagi, sudah menjadi sebuah gaya hidup.
Acara traveling di televisi tak perlu provokatif. Seruan “Masih mau di rumah aja, broooh?” pada akhirnya hanya akan semakin mendorong para traveler labil yang jadi ingin jalan-jalan semata biar keliatan gagah. Kok bisa? Ya iyalah. Wong tuhan 20 inchi yang kita sembah itu seolah mencibir dan menyuruh kita untuk traveling! Wong anak muda zaman sekarang paling anti dibilang ketinggalan zaman dan paling gampang tersulut tren. Hasilnya? Ya itu tadi, pelancong-pelancong yang hanya “menjalani”, bukan “mengalami”.
Kalau boleh, saya (yang hanya seorang traveler apalah ini) menyarankan, tak perlulah seruan-seruan semacam itu. Terlalu banyak ruginya dibanding manfaatnya. Saya percaya, langit tak perlu koar-koar kalau ia tinggi. Keindahan Indonesia sudah hampir mutlak sifatnya, siapalah yang mau mendebatnya. Maka cukup tampilkan keindahan tersebut, dan biarkan pemirsa cukup dewasa untuk memantik wanderlust-nya sendiri.
Karena sesungguhnya mereka yang berdiam diri di rumah masih jauh lebih baik dibanding pelancong yang merusak. Mereka yang tak kemana-mana tetap jauh lebih bijaksana dibanding mereka yang jauh-jauh mencari kebijakan dari alam (katanya) tapi justru menghancurkannya. Bukan begitu?
Source; phinemo.com/ tak-perlulah-ajakan-ayo-ber tualang/
Minggu pagi itu, saya leyeh-leyeh sambil menyaksikan acara traveling di stasiun TV lokal
“Keren kaaan? Masih gak penasaran?? Pokoknya lo harus kesini dan nyobain!!”
“Kasihan ya cuma tahu mall aja hidupnya. Pergi keluar jauh-jauh!”
“Indonesia itu indah, bro! Masih mau di rumah aja?”
“Jangan ngaku orang Indonesia, kalau belum pernah ke Raja Ampat!”
Ya ampun! Itulah beberapa dari sekian celetukan yang akhir-akhir ini terasa mengganggu telinga dan membuat saya gatal ingin berkomentar. Anda boleh menyebut saya sinis, nyinyir, atau apapunlah itu, tapi buat saya, celetukan semacam ini punya efek domino yang seringkali tidak disadari, menjerumuskan.
Traveling, bisa jadi kini ditasbihkan sebagai sebuah gaya hidup. Ia dianggap sebuah tren, aktivitas yang kini tengah digandrungi, yang berkorelasi positif dengan makin menjamurnya bisnis tour & travel, tayangan jalan-jalan di TV, atau akun instagram dan sejenisnya.
Tak ada yang salah dengan ini. Dalam piramida kebutuhan Maslow, pada hakikatnya ketika manusia telah memenuhi kebutuhan terdasarnya akan sandang pangan papan dan rasa aman, munculah kebutuhan lain yang sifatnya pemenuh kepuasan. Dan di zaman ketika hidup habis setengah hari terjebak macet di jalan Jakarta, siapa yang akan menolak kesempatan untuk berlari bebas dan berleha-leha di pantai, misalnya?
Tapi saya lebih suka memandang travel sebagai sesuatu yang jauh lebih hakiki dari sekedar rekreasi. Traveling buat saya adalah seni merasakan nikmatnya perjalanan. Itu tak hanya melulu menyoal indahnya destinasi. Melainkan perjalanan itu sendiri.
Saat mobil kami mogok di tengah hutan dalam perjalanan menuju Pulau Pasoso, sambil mendorong mobil, kami malah jadi bisa menyaksikan langsung semaraknya bintang yang subhanallah indahnya di langit Tanjung Manimbaya. Pun saat setiap orang yang kami tanya di Lampung memberi petunjuk jalan yang berbeda sehingga sukses membuat kami nyasar tak tentu arah, kami belajar menikmati serunya alur perjalanan yang tak menentu. Atau betapa saya selalu menikmati setiap menumpang tidur di rumah penduduk, serunya melantai tidur meringkuk dalam sarung, diiringi nina bobo gen-set yang dari kejauhan berdengung. Atau serunya terimpit dalam oto Kijang yang penumpangnya dijejalkan seperti ikan pindang, melewati jalan poros trans Sulawesi, kram dijepit kanan-kiri, dengan seorang anak tambun tidur dengan pulas di punggung hampir setengah hari.
Salah satu kearifan dari bepergian buat saya juga adalah, bertemu dengan orang-orang baik yang disebar Tuhan di muka bumi. Betapa banyaknya pintu yang dibukakan dan dipan yang direlakan untuk kami tidur menumpang selama di perjalanan. Bahkan di Kampung Bajo, kami selalu disilakan makan duluan. Ah, kerendahan hati macam begini dimanalah lagi kita temui di zaman begini?
Di Pulau Tembang pelosok Sulawesi Tengah kami bertemu pak Rusli, seorang guru honor yang diberi cobaan berupa glaukoma nyaris buta total oleh Yang di Atas, tapi tetap semangat mendidik anak di pulau yang bahkan tak tertera di peta. Saat tersasar menuju Rammang-rammang di Maros, kami bertemu anak muda yang rela memutar balik motornya, menunjukkan jalan berkilo-kilo meter pada kami sampai tujuan. Saat biasanya kita pesimis masih ada orang baik di dunia ini, pengalaman menyusuri nusantara justru akan mengajarkan hal sebaliknya: orang baik itu ada di mana-mana.
***
Maka, hikmah dari sebuah perjalanan buat saya justru bukanlah perasaan besar hati karena telah menginjak berbagai lokasi di dunia, tapi justru sensasi dari “merasa kecil di alam semesta”.
Tentu saja hal yang saya rasakan belum tentu dirasakan pula oleh para pelancong lainnya. Ada yang mencandu nikmatnya menaklukkan puncak-puncak tinggi di bumi, ada yang senang memotret keindahan dan berbagi, atau ada yang sekedar ingin mengosongkan kepala dari tetek-bengek perkantoran yang penuh basa-basi.
Maka jangan heran, jika tak sedikit pejalan yang sekadar ingin berfoto di destinasi yang tengah hits agar bisa diumbarnya di media sosial, atau cuma untuk mencontreng daftar panjang “been there” meskipun yang dilakukan sebenarnya hanya datang tanpa berinteraksi dengan penduduk sekitar lalu pergi begitu saja, atau demi komentar dan tatapan iri teman-temannya yang berkata, “Ihh jalan-jalan terus deh!”.
Itulah mengapa saya bersikeras bahwa traveling bersifat sangat personal. Kita boleh melancong ke destinasi yang sama, menempuh jarak yang sama, dengan durasi yang sama, menggendong bawaan yang sama, tapi percayalah kita akan membawa pulang cerita yang berbeda, pemahaman yang beragam, dan hikmah perjalanan yang beraneka pula.
Seorang besar pernah berkata, ada perbedaan antara “menjalani” dan “mengalami”. Yang satu sekedar datang, yang satu belajar pada alam. Yang satu sibuk mengambil foto selfie, yang satu memilih untuk meresapi. Yang satu cuma buat gengsi, yang satu demi kontemplasi.
Kenapa saya mengungkit perbedaan kedua tipe ini adalah, karena saya percaya, perbedaan landasan dan cara berpikir ini akan menunjukkan perilaku yang juga berbeda saat melancong. Masih ingat kontroversi Pulau Sempu yang masih saja dijejali pengunjung padahal termasuk area konservasi itu, atau Ranukumbolo yang kata seorang kawan tak ubahnya WC umum masif di penghujung minggu, atau yang masih hangat, terbakarnya Gunung Sumbing oleh sisa api pendaki yang belum padam? Untuk masalah sampah, tak usah ditanya lagi, ini sepertinya sudah jadi masalah laten orang Indonesia.
Menurut saya, tipe pelancong yang “mengalami”, yang memandang perjalanan sebagai sebuah pemahaman yang jauh lebih besar, akan cukup dewasa (dan kita tidak sedang membahas umur di sini) untuk tidak melakukan hal-hal bodoh semacam ini. Mereka tidak akan mengotori ibu pertiwi tempat mereka menahan napas karena tercekat oleh keindahannya, mereka tidak akan rela merusak barang setitik pun alam tempat mereka belajar merunduk pada Yang Kuasa, mereka akan menghormati pejalan lain yang datang berikutnya karena percaya lanskap indah itu bukan hanya hak untuk dinikmati oleh matanya saja, tapi juga orang-orang yang datang setelahnya dan bahkan, jikalau dirasa perlu, tak peduli seberapa inginnya pun, justru rela untuk tak mendatangi destinasi paling hits sekalipun karena menyadari bahwa kehadiran mereka justru hanya akan mengusik flora dan fauna di sana.
Sebaliknya, tingkah pelancong yang “menjalani”-lah yang seringkali membuat saya hanya bisa mengelus dada. Status seseorang di grup backpacker membuat saya langsung berkeinginan untuk merakit bom molotov, “Kita bebas dong buang sampah di gunung, bukannya untuk itu kita bayar mahal pas masuk Semeru?” Atau tingkah cewek-cewek pengguna tisu basah yang setelah dipakai langsung dijejalkan di balik semak-semak. Atau sepasang snorkeler yang pacaran di laut sambil menginak-injak koral yang butuh waktu ribuan tahun untuk tumbuh. Duh Gusti! Belum lagi tindakan vandalisme, yang membuat saya hampir menangis dibuatnya saat mendapati batu-batu granit elok raksasa tempat Ikal dan kawannya berlarian di Laskar Pelangi itu telah penuh coretan barbar!
***
Kembali ke bahasan awal tentang celetukan yang mengganggu tadi. Alasan pertama kenapa saya tak suka mendengarnya adalah karena hal ini terdengar urakan.
Alasan kedua adalah karena tanpa kita sadari, acara-acara televisi turut berperan penting dalam meningkatkan animo masyarakat untuk traveling (meskipun saya selalu gagal paham, apa pentingnya melihat tiga model cantik dipaksa caving sambil berteriak-teriak centil). Traveling tak terhindarkan lagi, sudah menjadi sebuah gaya hidup.
Acara traveling di televisi tak perlu provokatif. Seruan “Masih mau di rumah aja, broooh?” pada akhirnya hanya akan semakin mendorong para traveler labil yang jadi ingin jalan-jalan semata biar keliatan gagah. Kok bisa? Ya iyalah. Wong tuhan 20 inchi yang kita sembah itu seolah mencibir dan menyuruh kita untuk traveling! Wong anak muda zaman sekarang paling anti dibilang ketinggalan zaman dan paling gampang tersulut tren. Hasilnya? Ya itu tadi, pelancong-pelancong yang hanya “menjalani”, bukan “mengalami”.
Kalau boleh, saya (yang hanya seorang traveler apalah ini) menyarankan, tak perlulah seruan-seruan semacam itu. Terlalu banyak ruginya dibanding manfaatnya. Saya percaya, langit tak perlu koar-koar kalau ia tinggi. Keindahan Indonesia sudah hampir mutlak sifatnya, siapalah yang mau mendebatnya. Maka cukup tampilkan keindahan tersebut, dan biarkan pemirsa cukup dewasa untuk memantik wanderlust-nya sendiri.
Karena sesungguhnya mereka yang berdiam diri di rumah masih jauh lebih baik dibanding pelancong yang merusak. Mereka yang tak kemana-mana tetap jauh lebih bijaksana dibanding mereka yang jauh-jauh mencari kebijakan dari alam (katanya) tapi justru menghancurkannya. Bukan begitu?
Source; phinemo.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar