Senin, 12 Oktober 2015

KETERAMPILAN BERJALAN UNTUK PENDAKI GUNUNG


Pendakian gunung merupakan salah satu aktivitas pilihan para petualang yang menyukai tantangan medan mendaki dan menurun.

Variasi jalan setapak yang dilalui menjadi keasyikan tersendiri selain tentunya menikmati panorama alam pegunungan dan udara sejuk yang bersih. Namun demikian, petualangan tidak lagi menjadi asyik dan seru saat perjalanan terganggu oleh kondisi tubuh yang mulai kepayahan atau bahkan mengalami cidera. Mungkin bisa jadi perjalanan itu menjadi perjalanan terburuk yang pernah kita alami. Salah satu penyebab utama kejadian ini adalah karena keterampilan berjalan kita yang sangat buruk.

Karena itu, menjadi sangat penting bagi pegiat aktivitas ini apa pun tujuannya baik sekedar berpetualang atau untuk berolahraga, memiliki keterampilan berjalan di medan mendaki dan menurun. Membuat perjalanan menjadi lebih aman, nyaman, dan seru. Mudah-mudahan tulisan ringkas ini dapat membantu kita semua sebagai pendaki dalam peningkatan wawasan keterampilan berjalan sehingga dapat menjadi panduan untuk dipraktikan dalam setiap aktivitas pendakian gunung berikutnya.

PENGENALAN MEDAN PENDAKIAN GUNUNG

Banyak variasi medan pendakian yang dapat kita lalui. Sehingga perlu kita samakan persepsi kita tentang beberapa pengertiannya. Beberapa pakar membaginya secara definisi yang dihubungkan dengkan teknis pendakiannya. Salah satunya Schurman (pakar mountaineering dan juga seorang spesialis dalam strength and conditioning) dalam bukunya yang berjudul The Outdoor Athlete (2009) membaginya menjadi dua “nontechnical terrain” dan “technical terrain.” Medan non teknis dapat ditempuh dengan aktivitas hiking, trekking, dan backpacking (terkadang scrambling, berjalan mendaki dengan sedikit bantuan tangan) sehingga cukup jelas maksudnya bahwa medan tersebut dapat kita lalui tanpa harus melakukan teknis tertentu yang biasanya dihubungkan dengan aktivitas panjat tebing (rock climbing). Artinya medan non teknis dapat kita tempuh tanpa bantuan alat-alat panjat. Sementara medan teknis hanya dapat ditempuh dengan aktivitas mountaineering yang memerlukan proteksi tali pengaman dan alat-alat panjat lainnya.

Tulisan ini hanya mengupas keterampilan berjalan dalam pendakian di medan non teknis. Termasuk di dalamnya aktivitas hiking, trekking, dan backpacking. Sementara scrambling dan mountaineering akan dibahas dalam tulisan lain untuk lebih memudahkan.

HIKING, TREKKING, BACKPACKING

Istilah hiking, trekking, atau backpacking sudah sering kita dengar dan terasa tidak asing. Namun ada baiknya kita lihat kembali pengertiannya. Schurman mendefinisikannya sebagai berikut, bahwa hiking adalah aktivitas sehari dalam beberapa jam saja melalui medan mendaki yang tidak terlalu tinggi dan tidak rata. Biasanya untuk tingkatan basic jarak yang dapat ditempuh mulai dari 5 km hingga 13 km jalan berpasir, tanah atau lumpur di atas ketinggian sekitar 457m dpl. Kemudian untuk selanjutnya (intermediate hike) biasanya jarak yang ditempuh sekitar 13 km hingga 22.5 km dengan medan ketinggian sekitar 457 – 1067m dpl. Sementara yang lebih dari itu (advance hike) melakukan perjalanan dengan jarak tempuh sekitar 22.5 km hingga 48 km dengan ketinggian lebih dari 1067m dpl. Biasanya tas pundak yang dibawa dalam aktivitas hiking dari basic hingga advance berkisar 4.5 kg hingga 9 kg untuk minuman dan snack.

Pengertian trekking adalah serangkaian harian aktivitas hiking yang simultan bermalam di penginapan lokal (huts) atau tenda/shelter. Bawaan yang kita bawa biasanya untuk makan utama, snack, kamera, air, jaket dan pakaian sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Sementara perlengkapan tidur termasuk tenda, pakaian cadangan, bahan bakar, dan lain-lain dibawakan oleh pengangkut barang/porter. Trekking lebih banyak memakan biaya dibanding hiking dan membutuhkan endurance yang lebih dengan masa pemulihan (recovery) yang lebih minim.

Backpacking yang dimaksud adalah aktivitas perjalanan menginap beberapa hari bahkan berminggu-minggu yang mengharuskan pegiatnya membawa sendiri segala kebutuhannya selama perjalanannya. Biasanya perjalanannya melintasi beberapa desa hingga daerah terpencil (remote backcountry).

Untuk selanjutnya tulisan ini pun tidak mengupas segala keterampilan yang terkait dengan backpacking ini. Karena aktivitas ini memiliki keunikan tersendiri yang cukup menarik untuk dikupas secara detail.

KETERAMPILAN BERJALAN DI MEDAN PEGUNUNGAN (HIKING-TREKKING SKILLS)

Dalam aktivitas pendakian gunung yang di dalamnya terdapat berbagai unsur gerak (berjalan mendatar, berjalan mendaki, melompat, mendaki dengan bantuan tangan untuk keseimbangan dengan memegang pohon/batu begitu pula sebaliknya ketika menuruni bukit, dan sebagainya) sehingga dapat dikatakan sangat terbuka (memungkinkan banyak gerakan yang harus dilakukan). Gerakan tersebut bisa dilakukan hingga ratusan kali bahkan lebih hingga berjam-jam. Sehingga diperlukan pula berbagai aktivitas pemulihan termasuk di dalamnya pemulihan nutrisi (makan dan minum) yang berkesinambungan agar tubuh tetap memiliki energy untuk bergerak. Sehingga ada baiknya kita melihat aktivitas ini dari sudut pandang kebutuhan fisik dalam bergerak dari ilmu biomekanik dalam olahraga (sport biomechanics) dan juga kebutuhan fisik dalam memelihara kesinambungan energinya seperti yang dikaji dalam ilmu fisiologi olahraga (sport physiology).

Prinsip utama studi analisa gerak manusia dalam berolahraga oleh ilmu biomekanik olahraga adalah membantu peningkatan performa seorang atlit saat beraktivitas dalam cabang olahraga yang ia geluti sekaligus mengurangi kemungkinan cidera yang dapat terjadi (Roger Bartlett, Introduction to Sports Biomechanics, 2007). Sehingga dalam biomekanika olahraga, gerakan-gerakan tubuh kita itu akan selalu dikaitkan dengan tenaga yang dikeluarkan dan juga usaha yang dibutuhkan. Sehingga terciptalah gerakan yang paling efisien untuk dapat memunculkan performa yang optimum sesuai dengan aktivitas yang dibutuhkan.

Dalam pendakian gunung, walau sangat terbuka untuk berbagai gerakan, namun yang paling mendominasi adalah gerakan berjalan. Baik itu mendaki maupun menurun. Ini dilakukan bisa berjam-jam dengan ribuan langkah. Sehingga untuk memelihara kesinambungan gerakan jalan kita maka hal yang paling penting kita lakukan adalah berjalanlah seefisien mungkin. Banyak cara yang dapat kita lakukan dengan prinsip berjalan seefisien mungkin. Antara lain sebagai berikut;

(1) Dengan berjalan zig-zag (seperti mengikuti alur air ketika bergerak) sehingga naturalisasi gerakan berjalan kita masih dapat dipertahankan dan tidak memaksan otot-otot berjalan kita bekerja terlalu keras.

(2) Menapaklah dengan telapak kaki yang penuh di setiap tanjakan/step sehingga pembagian tenaga yang dibebani pada otot kaki kita tidak terpusat pada salah satu otot saja. Analoginya adalah sama halnya dengan berjalan jinjit di lantai datar yang dapat membebani otot betis kita sehingga kalau ini sering dilakukan akan terjadi cidera (over use syndrome).

(3) Berjalanlah dengan langkah yang tidak terlalu lebar seperti langkah anak kecil (baby step) sehingga beban otot kita tidak terbebani secara maksimum untuk setiap langkahnya.

(4) Berjalan dengan fokus pada gerakan tubuh kita khususnya kaki agar tetap dapat berjalan normal/natural. Sehingga terhindar dari langkah yang tidak beraturan, tergelincir, atau tersandung yang bila ini kerap terjadi akan sangat melelahkan.

Hal tersebut di atas adalah bagian yang sangat penting yang harus kita biasakan dan kita latih saat kita berjalan di medan pendakian kita. Walau mungkin ada hal yang juga penting perlu ditambahkan biasanya terkait dengan pola istirahat kita, waktu bergerak, prilaku saat istirahat dan lain-lain yang akan dibahas dalam fisiology pendakian gunung khususnya saat pemulihan (recovery).

Hal yang perlu diperhatikan juga bahwa banyak pendaki yang sangat terobsesi dengan pencapaian target berdiri di puncak gunung tanpa diimbangi dengan persiapan performa dalam bergerak turun. Hal ini dapat terjadi karena anggapan misi utama seorang pendaki adalah sampai di puncak. Padahal itu adalah bagian yang harus dicapai tetapi the ultimate goal kita adalah kembali pulang dengan berbagai cerita pengalaman yang seru dan mengasyikan. Karena itu, bergerak menuruni gunung juga harusnya menjadi perhatian penting kita.

Bergerak menuruni bukit secara biomekanika adalah hal yang lebih berat dibandingkan saat kita mendaki. Karena beban gravitasi ditambah dengan gerakan kita yang searah dengan itu (menurun) akan menghasikan dorongan yang lebih. Ini akan terasa dampaknya saat kita menapakan satu kaki kita dibawah dan langsung menerima energi balik dari permukaan bumi sebesar beban tubuh kita (beserta yang melekat di dalamnya) ditambah kecepatan gerakan turun kita dan juga gravitasi. Ini yang membuat lutut kita mudah cidera karena otot-otot kita tidak terlatih atau dipersiapkan untuk itu. Sehingga kembali kepada prinsip efisiensi dalam bergerak, maka kita sangat dianjurkan untuk melakukan gerakan turun seefisien mungkin. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:

(1) Jaga naturalisasi gerakan turun kita dengan memilih step terdekat untuk menghindari tumbukan yang kuat. Bergeraklah seperti arus air mengalir saat turun.

(2) Jangan terlalu sering membebani salah satu kaki kita karena kebiasaan gerak kita (kecendrungan melangkah awal dengan kaki kita yang lebih kuat). Berjalanlah turun dengan beban pada kaki secara bergantian.

(3) Ketika mendapati step yang terjal turuni step itu dengan memiringkan badan sehingga telapak kaki kita bergerak hampir 90° ke arah sisi dalamnya.

(4) Bila memungkinkan carilah kesempatan kepada tangan untuk membantu pengurangan beban tumbukan pada kaki (mungkin dengan memegang tongkat, atau dahan pohon, batu, dsb).

(5) Bila terdapat step yang cukup terjal sebaiknya kita menuruninya dengan membalikan tubuh kita sehingga berhadapan dengan jalur medan terjal tersebut. (seolah-olah berjalan mundur atau menyerupai kebalikan ketika kita bergerak naik dengan bantuan tangan).

Selain hal-hal tersebut yang harus diperhatikan terkait dengan biomekanika gerak dalam pendakian gunung, maka yang tidak kalah pentingnya adalah hal-hal yang terkait dengan fisiologi pendakiannya.


FISIOLOGI DALAM AKTIVITAS HIKING ATAU TREKKING

Brian J. Sharkey dalam bukunya Sport Physiology for Coaches (2006) menuliskan bahwa fisiologi merupakan ilmu yang mempelajari segala hal tentang tubuh kita dan fungsi-fungsinya. Sport physiology memperhatikan efek-efek yang terjadi baik yang bersifat sesegera mungkin atau jangka panjang pada latihan yang dilakukan pada otot-otot dan system tubuh. Jadi erat hubungannya dengan peningkatan detak jantung, pernafasan, dan suhu tubuh saat latihan. Semuanya akan terhubungkan dengan kesinambungan energi tubuh kita dalam bergerak.

Terkait dengan kesinambungan energi, setiap orang yang melakukan aktivitas olahraga, secara sederhana dapat terbagi menjadi dua yaitu:

(1) Aktivitas Aerobik; adalah bentuk aktivitas yang mengharuskan tubuh menggunakan oksigen sebagai bagian dari sistem energinya. Banyak orang menyebutnya juga dengan latihan endurance. Misalnya berjalan kaki, jogging, bersepeda, senam aerobik, berenang dan lain-lain. Biasanya waktu penggunaan system aerobic ini setelah beraktivitas lebih dari 20 detik hingga waktu yang tak terhingga selagi bahan bakarnya tersedia (karbohidrta, lemak dan protein).

(2) Aktivitas anaerobik; adalah bentuk aktivitas yang tidak memerlukan oksigen dalam sistem produksi energi dalam tubuh. Biasanya dipakai dalam latihan kekuatan maksimum dan juga sprint. Tenaga dari system an-aerobik ini dapat dipakai hanya tidak lebih dari 20 detik saja dan berhubungan dengan Glukosa karbohidrat.

Pada aktivitas pendakian gunung. Secara keseluruhan sistem energi yang dipakai adalah aerobik sehingga aktivitas ini bisa dikatakan sebagai aktivitas endurance. Mungkin sesekali tenaga anerobik akan dipakai ketika kita mengerahkan tenaga maksimum saat menanjak secara ekstrim dalam sekian detik. Sehingga cadangan glukosa karbohidrat kita yang nantinya tersimpan dalam bentuk glikogen otot dan juga glukosa dalam darah tetap tersedia.

Sehubungan dengan teknik pendakian gunung terkait dengan kondisi fisiologi tubuh, maka kesinambungan energi pada tubuh kita harus selalu dijaga. Untuk menjaga kesinambungan tersebut maka teknik-teknik pendakian yang telah disebutkan pada pembahasan biomekanika dalam pendakian gunung akan sangat relefan dengan pemeliharaan kesinambungan energi pada pembahasan ini. Namun demikian, hal-hal penting yang harus kita perhatikan adalaha sebagai berikut:

(1) Menjaga ritme pergerakan saat mendaki atau saat turun pada intensitas yang tidak terlalu tinggi (kondisi aerobik). Dengan patokan sekitar 70% dari denyut nadi maksimum per menit. Contoh: usia pendaki 40 tahun, denyut nadi terbaik saat bergerak dalam perjalanan diusahakan tetap constant pada denyut: 70% x (220 – umur) = 70% x (220-40)DN/mnt= 70% x 180 DN/mnt = 126 DN/mnt..

(2) Lakukan istirahat (recovery) yang cukup pada setiap kondisi pendakian atau saat menurun dengan selalu berpatokan pada denyut nadi per menit. Istirahat dianggap cukup bila denyut nadi kita sudah turun hingga posisi 60% DN maksimum

(3) Bila kita mendaki/menuruni medan terjal yang menyebabkan detak jantung terasa cepat maka pergerakan hanya boleh dilakukan selama paling lama 20 detik. Setelah itu lakukan recovery. Karena bila denyut nadi kita berada pada posisi mendekati maksimum (80% hingga 90%) dalam waktu yang lebih dari 20 detik maka tubuh kita akan memproduksi asam laktat sebagai hasil dari produksi energi anaerobic yang dapat menyebabkan otot-otot menjadi kaku saat terjadi penumpukan

(4) Lakukan recovery tiga kali lamanya waktu usaha maksimal tersebut dengan berhenti untuk mengambil nafas dan berjalan lambat hingga denyut kembali normal di posisi aerobik (70%) atau kurang dari itu. Bila kita bergerak mendaki dalam kondisi denyut maksimum selama 20 detik, beristirahatlah selama 60 detik.

(5) Siapkan selalu glukosa sederhana (gula jawa, madu, buah-buahn seperti pisang) pada saat pendakian yang beritme cepat. Sementara untuk pendakian endurance yang panjang kebutuhan akan karbohidrat dan lemak tubuh perlu selalu dijaga sehingga snack setiap 3 jam menjadi penting (biscuit, atau cereal). Siapkan protein yang memadai di makan malam kita tiga jam sebelum tidur untuk recovery jaringan otot yang rusak karena gerakan-gerakan pendakian kita.


AKHIR KATA

Hiking dan trekking merupakan aktivitas petualangan yang sangat mengasyikan. Ini akan menjadi seru apa bila kita dapat melakukannya secara menyenangkan, nyaman, dan aman (tanpa mengalami cidera). Penguasaan skills pergerakan dalam aktivitas ini menjadi sangat penting begitu pula pemahaman tentang kecukupan asupan dan prilaku yang baik saaat pemulihan (recovery). Sehingga realisasi keseruan pengalaman yang ingin dicapai dapat diwujudkan.

Referensi;

Rahmat Rukmantara (Tr.032/86)

Profesi: Strength & conditioning coach for mountain sports
Pendidikan: S2 Pendidikan Olahraga UNJ

Referensi

Brian J. Sharkey. Sport Physiology for Coaches. United State: Human Kinetics, 2006

Cardinale, Newton, Osaka. Strength and Conditioning: Biological Principles and Practical Applications. West Sussex, UK: Willey-Blackwell, 2011

Courtney Schurman & Doug Schurman. The Outdoor Athlete. United State: Human Kinetics, 2006

M. Anwari Irawan. Glukosa & Metabolismen Energi. www.pssplab.com. Sports Science Brief: Volume 01 (2007).

Roger Bartlett. Introduction to Sports Biomechanics: Analysing Human Movement Patterns. New York: Routledge, 2007

Source; trupala.wordpress.com/2012/08/10/keterampilan-berjalan-untuk-pendaki-gunung/#more-486

Tidak ada komentar:

Posting Komentar