Senin, 12 Oktober 2015

PATAH HATI? MENDAKI GUNUNGLAH!

“Jika kau patah hati, berjalanlah!”

Begitu kalimat yang sering saya baca maupun ucapan yang sering terdengar dari mulut kawan-kawan sesama pejalan. Ya, obat terhebat untuk mengobati hati yang remuk redam dan hancur berkeping-keping adalah dengan melakukan perjalanan. Namun jika boleh mengerucutkan kalimat tersebut saya lebih suka menggantinya dengan kalimat ini, “jika kau patah hati mendaki gununglah!”

Medio 2012. Tatkala semua mimpi dan asa yang saya rangkai begitu tinggi mendadak lebur dalam sekejap. Dengan segala keterpaksaan saya harus merelakan pergi sesuatu yang amat saya cintai. Daripada terus bersama namun saling menyakiti, maka melangkah di jalan masing-masing tanpa saling membebani adalah pilihan terbaik.

Badai itu datang begitu tiba-tiba dan cepat. Tanpa aba-aba. Saya yang tidak memiliki pertahanan sebelumnya langsung limbung dan jatuh. Seperti anak panah. Dia menusuk dengan tepat di dada. Hati saya tidak hanya patah, namun hancur berkeping-keping. Mungkin ini patah hati terhebat yang pernah saya rasakan.

Untunglah di saat itu banyak sahabat yang datang mendekat. Mengulurkan tangan membantu dan memapah saya untuk tegak berdiri dan mencoba berjalan lagi. Meski tertatih, namun pasti. Saya pun belajar melangkah dan menata hidup baru dengan segala keterbatasan yang ada.

Lantas sosok terdekat dalam hidup mengajak saya untuk mendaki gunung. “Anggap ini semacam perjalanan menziarahi diri,” ujarnya. Kala itu saya tidak berharap gunung mampu menyembuhkan luka. Saya hanya ingin melarikan diri sejenak dari semua duka.

Namun ternyata gunung memberikan banyak hal, jauh lebih banyak dari apa yang saya duga.

Dengan hati yang patah saya melangkah menyusuri jalanan terjal dan berliku. Di tengah kegelapan semesta saya tidak pernah tahu apa yang menghadang di depan. Entah jurang atau jalan datar yang terbentang. Yang harus saya lakukan adalah terus berhati-hati. Ini pelajaran pertama. Selama ini saya terlena dengan hidup dan tidak mempersiapkan terjadinya hal buruk. Saya tidak mempersiapkan hati saya untuk terluka. Padahal bukankah belajar mengikhlaskan dan melepaskan pergi itu bagian dari pendewasaan?

Bercengkerama dengan gunung membuat saya belajar tentang pentingnya bersiap menghadapi segala ketidakpastian. Cuaca yang berubah dengan cepat dan kita harus tanggap. Rinai hujan, halimun, terik mentari, semua datang silih berganti. Kita tidak bisa menghindari. Satu hal yang harus dilakukan, hadapi. Begitupun hidup. Hadapi semua persoalan dengan gagah berani!

Gunung yang besar membuat saya merasa begitu kerdil. Akhirnya persoalan patah hati menjadi kepingan butiran debu di tengah agungnya semesta. Patah hati bukanlah apa-apa. Masih banyak problematika lainnya yang terbentang di depan. Jangan mudah kalah oleh hati yang patah.

Edelweis yang tersenyum riang, pucuk cantigi yang tertimpa mentari, kelopak dandelion yang berterbangan tertiup angin, sentuhan lembut halimun, aroma pinus dan tanah basah, mentari yang perlahan lindap di awan maupun muncul di batas cakrawala, serta keindahan-keindahan lain yang ditemui di sepanjang jalan membuat saya sadar bahwa hidup ini indah kawan. Jangan habiskan hidup untuk meratapi diri!

Dan ketika keindahan-keindahan itu tidak bisa kita saksikan karena cuaca yang tidak mendukung, kita harus belajar menerima. Bukankah tidak semua hal bisa terjadi seperti yang kita ingini? Ikhlas ketika semua harus terlepas.

Seperti puncak yang bukanlah tujuan akhir dari pendakian, patah hati pun bukan akhir dari segalanya. Itu adalah awal mula untuk sesuatu yang baru. Satu hati pergi, masih banyak hati lain yang menanti dan bisa disinggahi. Asal kita mau membuka diri dan membuka hati.

Mendaki gunung membuat saya belajar melihat episode patah hati dalam sudut yang berbeda. Esensi mendaki gunung bukan hanya selamat sampai puncak, namun juga selamat hingga tiba di rumah. Begitupun hati. Hati yang kuat bukan hanya milik mereka yang sembuh dari fase patah hati, namun bisa move on dan berani jatuh cinta lagi.

Sepulang dari mendaki luka saya memang tidak serta merta sembuh. Namun setidaknya saya bisa menerima semua yang terjadi dengan hati yang lapang. Saya belajar merelakan. Saya belajar melepaskan. Saya belajar mengikhlaskan. Saya belajar menapaki jalan turun dengan sukacita. Ini memang episode hidup yang harus ditempuh. Bukankah menertawakan kegetiran hidup akan semakin memperingan langkah?

Jadi kawan, saran saya, jika kau sekarang sedang patah hati atau kelak mengalami patah hati maka mendaki gununglah. Percayalah, selalu ada pelajaran berharga dan hal indah yang bisa kau temui di luar sana!

"Mereka yang bercengkerama dengan alam akan membawa pulang sebuah makna bahwa alam selalu mengajarkan tentang pentingnya melepaskan dan mengikhlaskan. Dari alam kita akan belajar tentang makna hidup dan cinta sebenar-benarnya." – Ransel Hitam

Source; ranselhitam.com/patah-hati-mendaki-gununglah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar