Selasa, 13 Oktober 2015

PRINSIP 'BACKUP' (KEBERSAMAAN) SAAT MENDAKI GUNUNG


Dalam dunia kegiatan alam bebas, Prinsip "Backup" merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan peluang keselamatan. Contohnya diving dan freediving, juga menerapkan Prinsip "Backup" ini. Dimana saat melakukan penyelaman kita mesti ditemani oleh instruktur atau partner. Jadi artinya Prinsip “Backup” yang dimaksud disini adalah pada saat melakukan kegiatan alam bebas usahakan sebisa mungkin tidak sendirian. Partner kita bisa menjadi semacam “backup” bagi kita dan sebaliknya pada saat kondisi emergency atau darurat saat melakukan kegiatan di alam bebas.

Prinsip ini sebenarnya juga bermanfaat jika diterapkan dalam mendaki gunung; salah satu aktivitas ekstrim yang setiap saat bisa mengancam keselamatan jiwa. Atau lebih gampangnya Prinsip “Backup” ini bisa disebut Prinsip “Kebersamaan”.

Berikut beberapa hal penting terkait Prinsip “Backup” ini dalam mendaki gunung diantaranya:

1) PENYEIMBANG PIKIRAN DAN IDE SAAT TERSESAT.

Faktor yang sering menyebabkan pendaki tersesat sebenarnya bukan semata-mata karena jalur gunungnya sulit atau mudah. Tidak sedikit pendaki tersesat justru di gunung yang sebenarnya jalurnya relatif mudah. Coba perhatikan, tidak jarang kita mendengar pendaki yang tersesat di gunung yang begitu ramai lalu lintas pendakiannya, jalurnya sudah cukup jelas saking ramai dan rutinnya pendakian disana. Namun kita masih mendengar ada yang tersesat di gunung tersebut.

Salah satu penyebab pendaki tersesat adalah karena sebuah tim pendakian tidak menerapkan Prinsip “Backup” atau bahasa gampangnya “kebersamaan”. Tidak jarang terjadi dalam sebuah tim atau kelompok ada anggota yang “tercecer” alias tertinggal sendirian atau terpisah dari kelompoknya. Lantas apa hubungannya “tercecer” dengan tersesat? Ketika seorang pendaki “tercecer” alias terpisah sendirian dari timnya, maka pada saat itu pendaki tersebut benar-benar “berjuang” sendirian. Pada saat berjalan sendirian tersebutlah, segala kemungkinan bahaya bisa saja terjadi. Salah satunya adalah kebingungan akan jalur atau kehilangan arah. Pada saat seseorang bingung dengan pilihan arah, maka disitu ada potensi dia akan tersesat.

Pada saat seorang pendaki sendirian dan tersesat, maka satu-satunya ide dan inisiatif yang akan dijalankan untuk menyelamatkan dirinya adalah ide dan inisiatif pendaki itu sendiri! Artinya apa? Tidak ada “counter” atau “penyeimbang” pemikiran. Bahasa mudahnya, kalau anda sendirian maka hanya ada 1 kepala, namun jika ada partner maka akan ada lebih dari 1 kepala yang siap memberikan solusi, ide dan masukan untuk menyelamatkan diri dalam keadaan tersesat tersebut.

Dengan Prinsip “Backup”, dimana seorang pendaki tetap didampingi partnernya, maka pada saat tersesat, partner atau teman kita tersebut dapat memberikan masukan yang “berbeda” dari masukan kita pribadi. Hal ini bisa membuat kita melihat perspektif yang berbeda dari apa yang hanya terpikirkan oleh kepala kita.

2) PENOLONG SAAT KONDISI EMERGENCY ATAU DARURAT.

Dalam mendaki gunung ada banyak hal yang terkadang diluar perkiraan kita. Meskipun kita mempersiapkan diri sebaik mungkin, tetap ada sekian persen peluang-peluang kejadian berbahaya yang bisa saja terjadi diluar perkiraan kita. Begitulah realitas alam yang mesti kita terima dan sadari.

Sebagai contoh, misalnya pada saat mendaki tanpa diduga anda jatuh ke jurang namun ternyata masih bisa bertahan meskipun patah tangan dan kaki yang menyebabkan anda tak dapat dan tak sanggup lagi untuk bangun dan bergerak saking fatalnya patah tulang yang anda alami. Pada waktu itu anda hanya bisa terbaring di dalam jurang yang dalam dan rimbun dan berharap-harap akan ada yang menemukan anda. Bagaimana jika seandainya setelah berhari-hari tak ada juga yang lewat di lokasi jurang tempat anda terjatuh tersebut? Well, mungkin bisa saja anda bertahan dan mungkin juga tidak.

Pada kondisi seperti contoh diatas, secara teori peluang kita untuk selamat lebih kecil jika dibandingkan dengan apabila ada partner disebelah kita. Pada contoh di atas, jika ada partner disamping kita, maka pada saat kita jatuh tersebut, partner tersebut dapat segera memberikan pertolongan. Kalaupun partner tersebut tidak sanggup menolong sendirian, maka setidaknya partner anda tersebut dapat menyebarkan berita dan memohon bantuan kepada pendaki lain atau Tim SAR. Kemungkinan anda untuk diselamatkan secara teori akan lebih cepat dan lebih besar dibandingkan jika pada contoh kejadian tersebut anda tanpa didampingi partner.

Itu baru satu contoh kejadian tak terduga. Masih banyak kejadian lain yang tak terduga seperti kesurupan, diserang binatang buas, dll; yang membuat kita pada satu titik benar-benar membutuhkan bantuan orang lain.

3) USAHAKAN JANGAN TINGGALKAN TEMAN ANDA SENDIRIAN.

Saya seringkali setiap mendaki gunung berada di kelompok belakang atau di posisi sweeper. Salah satu alasan yang menyebabkan saya selalu berada di posisi belakang atau posisi sweeper adalah karena saya tipikal yang tidak tegaan jika melihat ada yang tertinggal sendirian di belakang. Seringkali godaan untuk cepat-cepatan sampai ke tujuan atau puncak datang dalam pikiran saya, namun syukurnya seringpula berhasil saya tepis. Susah memang melawan godaan tersebut, apalagi jika teman yang tertinggal tersebut benar-benar lambat pergerakannya. Namun untunglah itu seringkali bisa saya redam.

Tidak jarang, salah satu awal dari petaka saat mendaki gunung adalah karena sebuah tim membiarkan ada anggotanya yang tertinggal jauh di belakang. Kadang-kadang kita berpikir, “ah dia pasti sanggup kok. Ah, dia tau jalur kok, biarin aja sendiri. Nanti juga sampai”. Bahaya meninggalkan teman anda sendirian saat mendaki gunung adalah jika terjadi sesuatu pada dirinya, maka tidak ada yang membackup. Disinilah pentingnya Prinsip “Backup” atau Prinsip Kebersamaan ini. Seperti halnya diving, jika terjadi sesuatu saat menyelam pada salah satu diver, maka diver pendamping dapat memberikan pertolongan. Bayangkan jika diver tersebut sendiri lalu menghadapi kondisi darurat! Demikian jugalah sebenarnya pada saat mendaki gunung.

Pernah suatu waktu saat mendaki Gunung Lawu saya tertinggal jauh di bagian belakang bersama 5 orang teman lainnya. Kalau tidak salah waktu sudah menunjukkan sekitar jam 22.00, kami baru dalam perjalanan menuju Pos 3! Cuaca waktu itu benar-benar dingin. Angin sangat kencang dan menderu-deru. Mungkin itu salah satu pendakian dengan cuaca paling dingin yang pernah saya rasakan. Di tengah perjalanan tiba-tiba salah seorang teman cowok menyatakan kepada saya kalau dia sudah tidak sanggup meneruskan perjalanan. Saya bisa lihat itu dari kondisi dan wajahnya. Pada saat itu saya mengambil keputusan akan mengantarkan teman ini kembali turun ke Pos 2 mengingat kami masih berada di lereng yang sangat tidak cocok untuk mendirikan tenda. Waktu itu saya pribadi sempat agak khawatir dengan keputusan yang akan saya ambil karena 4 orang teman lainnya (dua cewe dan dua cowo) boleh dibilang baru-baru mendaki gunung. Dan kondisi kamipun sudah tidak fit lagi. Sudah pada kelelahan mendaki di malam hari dalam kondisi cuaca dingin dan berangin ini, terutama dua orang teman cewek.

Akhirnya saya memutuskan mengantar teman yang sakit tadi turun ke Pos 2. Apa yang saya lakukan? Saya meminta salah satu teman cowok lainnya (yang saya nilai masih cukup oke dan fit) untuk mendampingi saya mengantarkan teman yang sakit ini turun ke Pos 2. Sedangkan 3 orang teman lainnya (1 cowo dan dua cewe tersebut) saya minta tetap stay di tempat sampai kami berdua kembali lagi. Selain itu mereka bisa memanfaatkan waktu untuk beristirahat hingga kami berdua kembali lagi. Sebenarnya waktu itu saya pribadi masih yakin bisa mengantarkan teman yang kelelahan ini menuju Pos 2 sendirian. Tapi itu tidak saya lakukan. Saya tetap meminta salah seorang teman mendampingi saya mengantarkan teman yang kelelahan ini menuju Pos 2. Mengapa? Inilah salah satu implementasi Prinsip “Backup” yang saya jalankan. Saya meminta salah seorang teman mendampingi agar jika terjadi hal-hal yang tak terduga menuju Pos 2, setidaknya saya punya partner satu orang.

Akhirnya kami berdua turun ke Pos 2 mengantarkan teman yang sudah tak kuat lagi ini. Sesampainya di Pos 2 kami dirikan tenda. Setelah tenda berhasil didirikan, kami berduapun pamit kepada teman ini. Awalnya saya agak ragu meninggalkan teman ini sendirian di Pos 2. Tapi pikiran saya masih tertuju kepada 3 orang teman yang menunggu di atas. Jika saya stay di Pos 2 ini, saya khawatir tiga orang teman yang sudah kelelahan di atas akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu saya tidak berani membiarkan keempat orang teman ini sendirian, dengan pertimbangan pribadi bahwa keempatnya boleh dibilang masih baru-baru mendaki. Apalagi kami tidak memiliki tenda lagi, karena tenda yang lain dibawa oleh teman-teman yang sudah lebih dulu berada di depan meninggalkan kami. Akhirnya saya memutuskan meninggalkan teman ini di Pos 2 dengan pertimbangan melihat kondisi yang bersangkutan masih stabil dan hanya kelelahan biasa.

Sayapun menanyakan kepada yang bersangkutan sebagai cara konfirmasi untuk memastikan apakah yang bersangkutan masih oke dan tidak masalah ditinggal sendirian. Yang bersangkutan menegaskan kalau dia gak apa-apa, hanya butuh istirahat. Setelah memastikan logistik dan peralatan lainnya untuk yang bersangkutan tersedia, akhirnya kami berdua kembali menuju ke atas. Pertimbangan lain yang akhirnya membuat saya berani meninggalkan teman ini sendirian di Pos 2 karena di Pos 2 tersebut Alhamdulillah ada pendaki-pendaki lain yang sudah mendirikan tenda juga. Hal tersebut membuat saya semakin lega, meskipun sebenarnya hingga saat ini saya merasa seharusnya saya tetap dampingi dia di Pos 2. Tapi Alhamdulillah teman ini tidak kenapa-kenapa. Dan itu terbukti keesokan harinya. Setelah bertemu kembali dengan tiga orang teman saya tadi, kami berlima kembali secara pelan namun pasti melanjutkan pendakian hingga akhirnya bertemu dengan rekan-rekan yang lain dan sampai ke pos terakhir sebelum puncak.

Apa pelajaran yang ingin saya share dari cerita di atas? Bahwa, usahakan jangan bertindak sendirian atau meninggalkan teman anda sendirian. Saya sengaja membagi dua tim saat mengantarkan teman yang kelelahan tersebut turun ke Pos 2. Satu orang teman saya minta mendampingi saya ke Pos 2 dengan tujuan agar jika terjadi apa-apa dalam perjalanan menuju Pos 2, ada dua orang yang setidaknya bisa saling bekerjasama. Demikian juga teman yang tertinggal yang berjumlah tiga orang. Meksipun tim terbagi dua untuk sementara, namun masing-masing tetap memiliki partner. Sehingga kalau sesuatu terjadi, tidak ada yang sendirian di kedua belah pihak/sisi.

4) JANGAN TINGGALKAN TEMAN ANDA SENDIRIAN SAAT TURUN DARI PUNCAK.

Ini salah satu hal yang sering saya amati saat mendaki gunung. Salah satu kondisi yang paling rawan untuk terjadinya kecelakaan adalah saat turun dari puncak. Usahakan jangan pernah membiarkan salah seorang teman anda tertinggal sendirian saat turun dari puncak. Tidak sedikit pendaki yang mengalami disorientasi arah saat turun dari puncak yang mengakibatkan pendaki tersebut salah jalur dan akhirnya tersesat dan ada yang berujung pada kecelakaan fatal. Hindari ego untuk "cepat-cepatan" tiba di tujuan. Sebisa mungkin kalaupun tidak bisa semuanya dalam satu tim, bagi dalam beberapa kelompok kecil. Intinya jangan biarkan teman anda sendirian.

5) KARENA KITA CENDERUNG LABIL SAAT SENDIRIAN.

Mengapa Prinsip “Backup” ini penting? Salah satu diantaranya adalah karena faktor psikis dan fisik manusia yang cenderung "labil" saat sendirian menghadapi kesulitan di alam liar sana.

Bayangkan berhadapan dengan berbagai kemungkinan bahaya diluar sana. Di gunung loh! Ketika permasalahan dan kondisi darurat datang, tidak semua orang bisa menjaga stabilitas emosi dan pikiran jernihnya. Kemampuan pribadi dan emosional setiap individu berbeda-beda saat menghadapai kondisi darurat di gunung. Disinilah manfaat Prinsip “Backup” ini. Kepanikan juga cenderung lebih mudah timbul saat sendirian menghadapi kondisi darurat. Adanya partner disamping kita akan menjadi “penyeimbang” dan melengkapi kekurangan-kekurangan kita.

6) KARENA ALAM SULIT DITEBAK.

Belajar berbagai hal tentang teknik survival memang sangat penting karena akan sangat bermanfaat ketika kita menghadapi kondisi darurat saat mendaki gunung. Namun, meskipun demikian tetap saja ada hal-hal yang kadang tak terduga. Alam sulit ditebak. Sesuatu yang kadang membuat kita sampai pada satu titik dimana kita membutuhkan tangan orang lain.

Disinilah nilai plus seorang partner saat melakukan pendakian. Percayalah, terkadang ada hal yang tak bisa kita handle sendiri. Ada saat-saat dimana kita membutuhkan sokongan dari seorang teman. Istilahnya “bersama cenderung membuat kita kuat dan bersemangat dan bisa saling membantu”.

LANTAS BAGAIMANA DENGAN PENDAKI SOLO?

Mungkin Prinsip “Backup” saat mendaki gunung tidak seketat saat dalam melakukan diving, dimana seorang diver mesti didampingi oleh diver lainnya. Itulah mungkin sebabnya melakukan pendakian seorang diri sah-sah saja. Banyak pendaki solo diluar sana. Ada sisi kelebihan dan kekurangan dari mendaki solo atau seorang diri demikian juga dengan mendaki berkelompok (non solo). Nah, berkaitan dengan Prinsip “Backup” ini, tentunya seorang pendaki solo akan menghadapi segala bahaya dan kondisi darurat seorang diri. Ya, jelas, karena dia mendaki sendiri dan tanpa teman, maka segala risiko bahaya yang tak terduga tentunya akan di-handle sendiri. Berbeda dengan pendaki yang melakukan pendakian bersama partner atau teman lainnya, pada saat menghadapi kondisi yang tak bisa lagi di-handle sendiri, masih ada teman yang siap membackup.

Sekarang tinggal masalah pilihan saja, apakah anda tipikal yang senang mendaki solo atau mendaki berkelompok (dengan partner). Setiap pilihan tentunya ada kelebihan, kekurangan dan konsekuensi yang harus ditanggung.

source; viewindonesia.com/index.php/travel-destination/107-prinsip-qbackupq-kebersamaan-saat-mendaki-gunung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar